#ORIENTASI KLASIK
Orientasi klasik yang umumnya digunakan dalam kedokteran termasuk
psikiatri mengartikan sehat sebagai kondisi tanpa keluhan, baik fisik
maupun mental. Orang yang sehat adalah orang yang tidak mempunyai
keluhan tentang keadaan fisik dan mentalnya. Sehat fisik artinya tidak
ada keluhan fisik. Sedang sehat mental artinya tidak ada keluhan mental.
Dalam ranah psikologi, pengertian sehat seperti ini banyak menimbulkan
masalah ketika kita berurusan dengan orang-orang yang mengalami gangguan
jiwa yang gejalanya adalah kehilangan kontak dengan realitas.
Orang-orang seperti itu tidak merasa ada keluhan dengan dirinya meski
hilang kesadaran dan tak mampu mengurus dirinya secara layak. Pengertian
sehat mental dari orientasi klasik kurang memadai untuk digunakan dalam
konteks psikologi. Mengatasi kekurangan itu dikembangkan pengertian
baru dari kata ‘sehat’. Sehat atau tidaknya seseorang secara mental
belakangan ini lebih ditentukan oleh kemampuan penyesuaian diri terhadap
lingkungan. Orang yang memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan
lingkungannya dapat digolongkan sehat mental. Sebaliknya orang yang
tidak dapat menyesuaikan diri digolongkan sebagai tidak sehat mental.
#ORIENTASI PENYESUAIAN DIRI
Dengan menggunakan orientasi penyesuaian diri, pengertian sehat
mental tidak dapat dilepaskan dari konteks lingkungan tempat individu
hidup. Oleh karena kaitannya dengan standar norma lingkungan terutama
norma sosial dan budaya, kita tidak dapat menentukan sehat atau tidaknya
mental seseorang dari kondisi kejiwaannya semata. Ukuran sehat mental
didasarkan juga pada hubungan antara individu dengan lingkungannya.
Seseorang yang dalam masyarakat tertentu digolongkan tidak sehat atau
sakit mental bisa jadi dianggap sangat sehat mental dalam masyarakat
lain. Artinya batasan sehat atau sakit mental bukan sesuatu yang
absolut. Berkaitan dengan relativitas batasan sehat mental, ada gejala
lain yang juga perlu dipertimbangkan. Kita sering melihat seseorang yang
menampilkan perilaku yang diterima oleh lingkungan pada satu waktu dan
menampilkan perilaku yang bertentangan dengan norma lingkungan di waktu
lain. Misalnya ia melakukan agresi yang berakibat kerugian fisik pada
orang lain pada saat suasana hatinya tidak enak tetapi sangat dermawan
pada saat suasana hatinya sedang enak. Dapat dikatakan bahwa orang itu
sehat mental pada waktu tertentu dan tidak sehat mental pada waktu lain.
Lalu secara keseluruhan bagaimana kita menilainya? Sehatkah mentalnya?
Atau sakit? Orang itu tidak dapat dinilai sebagai sehat mental dan tidak
sehat mental sekaligus.
Dengan contoh di atas dapat kita pahami bahwa tidak ada garis yang
tegas dan universal yang membedakan orang sehat mental dari orang sakit
mental. Oleh karenanya kita tidak dapat begitu saja memberikan cap
‘sehat mental’ atau ‘tidak sehat mental’ pada seseorang. Sehat atau
sakit mental bukan dua hal yang secara tegas terpisah. Sehat atau tidak
sehat mental berada dalam satu garis dengan derajat yang berbeda.
Artinya kita hanya dapat menentukan derajat sehat atau tidaknya
seseorang. Dengan kata lain kita hanya bicara soal ‘kesehatan mental’
jika kita berangkat dari pandangan bahwa pada umumnya manusia adalah
makhluk sehat mental, atau ‘ketidak-sehatan mental’ jika kita memandang
pada umumnya manusia adalah makhluk tidak sehat mental. Berdasarkan
orientasi penyesuaian diri, kesehatan mental perlu dipahami sebagai
kondisi kepribadian seseorang secara keseluruhan. Penentuan derajat
kesehatan mental seseorang bukan hanya berdasarkan jiwanya tetapi juga
berkaitan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan seseorang dalam
lingkungannya.
#ORIENTASI PENGEMBANGAN POTENSI
Seseorang dikatakan mencapai taraf kesehatan jiwa, bila ia mendapat
kesempatan untuk mengembangkan potensialitasnya menuju kedewasaan, ia
bisa dihargai oleh orang lain dan dirinya sendiri. Dalam psiko-terapi
(Perawatan Jiwa) ternyata yang menjadi pengendali utama dalam setiap
tindakan dan perbuatan seseorang bukanlah akal pikiran semata-mata, akan
tetapi yang lebih penting dan kadang-kadang sangat menentukan adalah
perasaan. Telah terbukti bahwa tidak selamanya perasaan tunduk kepada
pikiran, bahkan sering terjadi sebaliknya, pikiran tunduk kepada
perasaan. Dapat dikatakan bahwa keharmonisan antara pikiran dan
perasaanlah yang membuat tindakan seseorang tampak matang dan wajar.
Sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan Hygiene mental atau kesehatan
mental adalah mencegah timbulnya gangguan mental dan gangguan emosi,
mengurangi atau menyembuhkan penyakit jiwa serta memajukan jiwa. Menjaga
hubungan sosial akan dapat mewujudkan tercapainya tujuan masyarakat
membawa kepada tercapainya tujuan-tujuan perseorangan sekaligus. Kita
tidak dapat menganggap bahwa kesehatan mental hanya sekedar usaha untuk mencapai kebahagiaan masyarakat, karena
kebahagiaan masyarakat itu tidak akan menimbulkan kebahagiaan dan
kemampuan individu secara otomatis, kecuali jika kita masukkan dalam
pertimbangan kita, kurang bahagia dan kurang menyentuh aspek individu,
dengan sendirinya akan mengurangi kebahagiaan dan kemampuan sosial.
SUMBER: Bagus Takwin staff UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar